KESIMPULAN
MODUL E MULTIMEDIA
JENIS-JENIS
FILM
NAMA
: AGUNG ADITYA SAENONG
1.
PENGERTIAN
FILM
Film adalah gambar-hidup yang juga sering disebut
movie. Film secara kolektif sering disebut sebagai sinema. Sinema bersumber
dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebetulnya merupakan lapisan-lapisan
cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. (Nugroho,
2013) .
Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah
Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie =
grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak
dengan cahaya. Agar dapat melukis gerak dengan cahaya, harus menggunakan alat
khusus, yang biasa disebut dengan kamera.
Film adalah gambar yang bergerak. Adapun pergerakannya disebut sebagai intermitten movement, gerakan yang
muncul hanya karena keterbatasan kemampuan mata dan otak manusia menangkap
sejumlah pergantian gambar dalam sepersekian detik. Film menjadi media yang
sangat berpengaruh, melebihi media-media
yang lain, karena secara audio dan visual bekerja sama dengan baik dalam
membuat penonton tidak bosan dan lebih mudah mengingat, karena formatnya yang
menarik.
Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta
seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan
asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan
video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk,
jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses
lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau
ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.
1. SEJARAH
FILM INTERNASIONAL
Film yang ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang
hingga hari ini merupakan ‘perkembangan lebih jauh’ dari teknologi fotografi.
Perkembangan penting sejarah fotografi telah terjadi di tahun 1826, ketika
Joseph Nicephore Niepce dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk
membuat gambar pada sebuah lempengan timah yang tebal.
Thomas Alva Edison (1847-1931) seorang ilmuwan
Amerika Serikat penemu lampu listrik dan fonograf (piringan hitam), pada tahun
1887 terinspirasi untuk membuat alat untuk merekam dan membuat (memproduksi)
gambar. Edison dibantu oleh George Eastman, yang kemudian pada tahun 1884
menemukan pita film (seluloid) yang
terbuat dari plastik tembus pSaudarang. Tahun 1891 Eastman dibantu Hannibal
Goodwin memperkenalkan satu rol film yang dapat dimasukkan ke dalam kamera pada
siang hari.
Alat yang dirancang dan dibuat oleh Thomas Alva
Edison itu disebut kinetoskop (kinetoscope)
yang berbentuk kotak berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu
pertunjukan. Lumiere bersaudara kemudian merancang peralatan baru yang
mengkombinasikan kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu.
Lumiere Bersaudara menyebut peralatan baru untuk kinetoskop itu dengan
“sinematograf” (cinematographe).
Peralatan sinematograf ini kemudian dipatenkan pada tahun 1895.
Pada peralatan sinematograf ini terdapat mekanisme
gerakan yang tersendat (intermittent
movement) yang menyebabkan setiap frame dari film diputar akan berhenti
sesaat, dan kemudian disinari lampu proyektor. Di masa awal penemuannya,
peralatan sinematograf tersebut telah digunakan untuk merekam adegan-adegan
yang singkat, misalnya: adegan kereta api yang masuk ke
stasiun, adegan anak-anak bermain di pantai, di taman dan sebagainya.
Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum
dengan membayar, berlangsung di Grand
Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895.
Peristiwa ini sekaligus menSaudarai lahirnya film dan bioskop di dunia.
Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film sendiri sudah
dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia
internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe ini yang menandai lahirnya film pertama di dunia.
Sejak ditemukan, perjalanan film terus mengalami
perkembangan besar bersamaan dengan perkembangan atau kemajuan-kemajuan
teknologi pendukungnya. Pada awalnya, hanya dikenal film hitam putih dan tanpa
suara atau dikenal dengan sebutan “film bisu”. Masa film bisu berakhir pada
tahun 1920-an, setelah ditemukannya film bersuara. Film bersuara pertama
diproduksi tahun 1927 dengan judul “Jazz Singer”, dan diputar pertama kali
untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat. Kemudian menyusul
ditemukannya film berwarna di tahun 1930-an.
Perubahan dalam industri perfilman jelas nampak pada
teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya film berupa gambar hitam putih,
bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem
penglihatan mata, berwarna, dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film
lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.
Pada perkembangan selanjutnya, film tidak hanya
dapat dinikmati di bioskop dan berikutnya di televisi, namun juga dengan
kehadiran VCD dan DVD (Blue-Ray), film dapat dinikmati di rumah dengan kualitas
gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Dengan perkembangan
internet, film juga dapat disaksikan lewat jaringan Superhighway.
Film kemudian dipandang
sebagai komoditas industri oleh Hollywood, Bollywood, dan Hongkong.
1.
SEJARAH PERKEMBANGAN FILM DI INDONESIA
Film Indonesia pertama kali dikenalkan pada 5
Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar
Idoep". Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang dengan tema film
dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Namun pertunjukan pertama
ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada
1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat
penonton.
Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada
tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke
dalam bahasa Melayu, dan film cerita impor ini cukup laku di Indonesia,
dibuktikan dengan jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik
tontonan baru ini ternyata mengagumkan.
Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926,
dengan judul “Loetoeng Kasaroeng” yang diproduksi oleh NV Java Film Company,
adalah sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang, karena pada
tahun tersebut di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.
2.
KLASIFIKASI FILM
Menurut jenis film :
a. Film
Fiksi (cerita karangan)
b. Film
Non Fiksi (berdasarkan kenyataan sebagai subyeknya)
Film Non Fiksi ada 2 yaitu :
·
Film Faktual yakni : menampilkan fakta
atau kenyataan yang ada, dimana kamera sekedar merekam suatu kejadian.
Sekarang, film faktual dikenal sebagai film berita (news-reel), yang menekankan pada sisi pemberitaan suatu kejadian
aktual.
·
Fil Dokumenter yakni : Selain fakta,
juga mengandung subyektifitas pembuat yang diartikan sebagai sikap atau opini
terhadap peristiwa, sehingga persepsi tentang kenyataan akan sangat tergantung
pada si pembuat film dokumenter tersebut.
Menurut Cara Pembuatan
:
a. Film
Eksperimental
Film
Eksperimental adalah film yang dibuat tanpa mengacu pada kaidah-kaidah
pembuatan film yang lazim. Tujuannya adalah untuk mengadakan eksperimentasi dan
mencari cara-cara pengucapan baru lewat film. Umumnya dibuat oleh sineas yang
kritis terhadap perubahan (kalangan seniman film), tanpa mengutamakan sisi
komersialisme, namun lebih kepada sisi kebebasan berkarya.
b. Film
Animasi
Film
Animasi adalah film yang dibuat dengan memanfaatkan gambar (lukisan) maupun
benda-benda mati yang lain, seperti boneka, meja, dan kursi yang bisa
dihidupkan dengan teknik animasi.
Menurut Tema Film (Genre) :
a. Drama
Tema
ini lebih menekankan pada sisi human
interest yang bertujuan mengajak penonton ikut merasakan kejadian yang
dialami tokohnya, sehingga penonton merasa seakan-akan berada di dalam film
tersebut. Tidak jarang penonton yang merasakan sedih, senang, kecewa, bahkan
ikut marah.
b. Action
Tema
action mengetengahkan adegan-adegan
perkelahian, pertempuran dengan senjata, atau kebut-kebutan kendaraan antara
tokoh yang baik (protagonis) dengan
tokoh yang jahat (antagonis),
sehingga penonton ikut merasakan ketegangan, was-was, takut, bahkan bisa ikut bangga terhadap kemenangan si
tokoh.
c. Komedi
Tema
film komedi intinya adalah mengetengahkan tontonan yang membuat penonton
tersenyum, atau bahkan tertawa terbahak-bahak. Film komedi berbeda dengan
lawakan, karena film komedi tidak harus dimainkan oleh pelawak, tetapi pemain
biasa pun bisa memerankan tokoh yang lucu.
d. Tragedi
Film
yang bertemakan tragedi, umumnya mengetengahkan kondisi atau nasib yang dialami
oleh tokoh utama pada film tersebut. Nasib yang dialami biasanya membuat
penonton merasa kasihan/prihatin/iba.
e. Horor
Film
bertemakan horor selalu menampilkan adegan-adegan yang menyeramkan, sehingga membuat penontonnya merinding
karena perasaan takutnya. Hal ini karena film horor selalu berkaitan dengan
dunia gaib/magis, yang dibuat dengan special
effect, animasi, atau langsung dari tokoh-tokoh dalam film tersebut.
3. FILM
‘MAINSTREAM’
Pengertian Istilah film ‘mainstream’ ditujukan
kepada film-film yang diproduksi oleh studio-studio besar yang bertujuan
menghibur masyarakat dengan meraup keuntungan sebesar-besarnya, dan biasanya
berdurasi panjang (90-100 menit). Film-film mainstream lebih dianggap barang
dagangan (industri) daripada dianggap sebagai sebuah karya seni.
Karakter
Film ‘Mainstream’
Ada
beberapa karakter khas film ‘mainstream’ yang umumnya menjadi acuan:
a. Non
Teknis
Secara non teknis film ‘mainstream’ dibagi menurut
ide atau tema. Ide atau tema yang dipakai adalah tema-tema yang sedang populer
di masyarakat, karena bertujuan ‘komersial’ (umumnya mengangkat kisah heroik
dan percintaan).
Alur cerita dibagi
dalam 4 bagian:
1. Pembuka:
berisi perkenalan tokoh (baik protagonis maupun antagonis). Pada akhir babak
ini biasanya dimunculkan masalah yang dialami tokoh utama protagonis.
2. Tengah:
merupakan pengembangan masalah yang biasanya disusun dengan berliku-liku
(panjang).
3. Klimaks:
merupakan puncak dari permasalahan dan penyelesaiannya.
4. Babak
penutup: merupakan akhir cerita yang biasanya dibuat agar penonton ikut
merasakan kebahagiaan/kemenangan dari tokoh utama (happy ending).
b. Secara
teknis,
Karakter film ‘mainstream’ adalah:
·
Menggunakan bahan selluloid (minimal
film 35 mm) agar dapat diputar di bioskop.
·
Memiliki jaringan kerjasama yang jelas
dan luas, baik pada saat pra-produksi, produksi sampai ke tahap distribusi film
dengan tujuan utama keuntungan secara materi.
·
Modal/dana disediakan oleh orang atau
instansi tertentu yang berposisi sebagai produser.
·
Menggunakan sistem bintang, maksudnya
pemeran film sudah dikenal oleh masyarakat (public
figure) dengan tujuan menarik minat penonton.
·
Ada proses sensor dari lembaga perfilman
yang terkait, dengan tujuan menyaring bagian film yang dianggap tidak baik
untuk dikonsumsi masyarakat umum.
6. PELAKU INDUSTRI FILM
Dalam pembuatan film,
tidak akan lepas dari kerjasama tim yang baik. Semakin baik kerjasama yang
terjalin, maka semakin maksimal hasil film yang dibuat. Pada saat pembuatan
film semua kru harus hadir untuk melaksanakan tugasnya, karena ketidakhadiran
salah satu kru akan menghambat proses pembuatan film. Berikut adalah beberapa
posisi dan tanggung jawab pada kru pembuat film:
1.
Produser
Dalam
bukunya yang berjudul People Who Makes
Movies, Theodore Taylor menyebut produser sebagai “Orang dagang tapi
kreatif”. Produser adalah orang yang mengepalai studio. Orang ini memimpin
produksi film, menentukan cerita dan biaya yang diperlukan serta memilih
orang-orang yang harus bekerja untuk film yang dibuat di studionya.
2.
Sutradara
Sutradara
terkemuka Amerika, Arthur Penn, menyebut sutradara sebagai orang yang menulis
dengan kamera (Theodore Taylor, People Who Make Movies, hal.21). Sutradara
adalah orang yang memimpin proses pembuatan film (syuting), mulai dari memilih
pemeran tokoh dalam film, hingga memberikan arahan pada setiap kru yang bekerja
pada film tersebut sesuai dengan skenario yang telah dibuat.
3.
Penulis Skenario
Orang
yang mengaplikasikan ide cerita ke dalam tulisan, dimana tulisan ini akan
menjadi acuan bagi sutradara untuk membuat film. Pekerjaan penulisan skenario
tidak selesai pada saat skenario rampung, karena tidak jarang skenario itu
harus ditulis ulang karena produser kurang puas.
4.
Penata Fotografi
Penata
fotografi adalah nama lain dari juru kamera (cameraman), orang yang benar-benar memiliki pengetahuan dan ahli
dalam menggunakan kamera film. Dalam menjalankan tugasnya mengambil gambar (shot), seorang juru kamera berada di
bawah arahan seorang sutradara.
5.
Penyunting
Penyunting
adalah orang yang bertugas merangkai gambar yang telah diambil sebelumnya
menjadi rangkaian cerita sesuai dengan skenario yang telah dibuat. Pada proses
ini, juga dilakukan pemberian suara (musik) atau special effect yang diperlukan
untuk memperkuat karakter gambar atau adegan dalam film.
6.
Penata Artistik
Penata
artistik dapat dibedakan menjadi penata latar, gaya, dan rias.
·
Penata latar: menyiapkan
suasana/dekorasi ruang sesuai dengan skenario adegan yang diinginkan.
·
Penata gaya: membantu sutradara untuk
memberikan arahan gaya kepada pemain.
·
Penata rias: orang yang bertugas
membantu pemeran untuk merias wajah dan rambut, hingga menyiapkan pakaian
(kostum) yang akan digunakan.
7.
Pemeran
Posisi pemeran yang juga disebut sebagai bintang
film ini, secara kelembagaan, tidaklah begitu penting karena seorang pemeran
harus tunduk dan melakukan segala arahan yang diberikan oleh sutradara. Namun,
karena cerita film sampai pada penonton melalui bintang film tersebut, di mata
penonton justru bintang film itulah yang paling penting, dan sangat menentukan.
8. Publicity Manager
Menjelang, selama, dan sesudah sebuah film selesai
dikerjakan, para calon penonton harus dipersiapkan untuk menerima kehadiran
film tersebut. Pekerjaan ini dipimpin oleh seorang yang tahu betul melakukan
propaganda, dan sebutannya adalah publicity
manager.
7. FILM INDEPENDEN
(INDIE)
Pengertian Kata independen (bahasa Inggris) yang berarti: merdeka, berdiri
sendiri, berjiwa bebas, tidak dikuasai/dipengaruhi kekuatan lain. Kata ‘indie’,
dalam film indie, mengartikan semangat kebebasan dan kemandirian para pembuat
film dalam berkarya, yang lebih
menekankan film sebagai media untuk menyampaikan pesan dan mengekspresikan
kesenimanan seorang pembuat film, bukan ladang ‘komersialisme’ bagi para
pemilik modal. Film indie adalah film yang diproduksi dan didistribusikan tanpa
mengikuti kaidah perfilman yang telah baku (konvensional).
Film Independen di
Indonesia
Film independen (indie) yang dimaksud adalah
film-film alternatif di luar film-film ‘mainstream’,
yang produksi dan distribusinya berdasarkan semangat independen para pembuat
film yang cenderung berkarakter
dekonstruktif dan eksperimental. Sebuah film menjadi film indie saat nurani
pembuat film menginginkannya menjadi
suatu yang independen, terlepas dari latar belakang proses produksi film atau
mungkin juga sebuah karakter personal yang menjadi gaya si pembuat film untuk membuatnya menjadi sebuah karya seni. Sehingga sebuah film
indie dapat dilihat dari ‘semangat’ dan nurani pembuat film .
Film indie di Indonesia muncul sebagai alat
komunikasi suatu komunitas atau individu untuk berekspresi. Faktor-faktor lain
yang mendorong gairah pembuatan film-film indie di Indonesia, sama dengan yang
terjadi di negara-negara lain di Asia yaitu tidak tersedianya media untuk
berekspresi. (Garin Nugroho, Berpikir Merdeka dan Berkarya Mandiri, Kompas,
Minggu, 9 Juni 2002).
Karakter
Film Independen
Film indie umumnya menawarkan tema-tema yang
beragam, yang tidak ditemui di film-film pada umumnya yang cenderung latah dan
mengekor film-film yang telah sukses. Tema-tema sederhana, yang justru dengan
kesederhanaannya dapat menembus ketidaksederhanaan,
yang luput dari perhatian masyarakat. Karena sifatnya sebagai alternatif, bukan
komersil, membuat film indie penuh dengan eksplorasi subyektif dari si pembuat.
Pembuat film
memiliki kebebasan berekspresi menuangkan segala kreativitas imajinasinya
dalam karya film, sehingga menghasilkan film-film yang tidak biasa (tidak
konvensional). Kemurnian dan kejujuran inilah yang membuat film indie
dikonotasikan sebagai film ‘egois’ yang hanya dinikmati kalangan tertentu saja.
Kemandirian dalam pengadaan dana/tanpa sponsor secara tidak langsung juga
mengakibatkan kemandirian pendistribusian dan penggunaan pemeran film.
Pendistribusian dilakukan secara ‘gerilya’ dan pemain film yang mendukung
bukanlah selebriti terkenal, melainkan orang-orang biasa yang memiliki bakat
akting.
Berdasarkan durasi atau lamanya
sebuah film dapat dibagi sebagai berikut:
1. Film Pendek
Durasi film cerita pendek biasanya
di bawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman, Australia, Kanada, Amerika
Serikat, dan juga Indonesia, film cerita pendek dijadikan laboratorium
eksperimen dan batu loncatan bagi seseorang/sekelompok orang untuk kemudian
memproduksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para
mahasiswa jurusan film atau orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin
berlatih membuat film dengan baik. Sekalipun demikian, ada juga yang memang
mengkhususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini
dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televisi yang nantinya akan
menayangkan film tersebut.
2. Film Panjang
Film dengan durasi lebih dari 60
menit lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya
termasuk dalam kelompok ini. Beberapa film, misalnya “Dances With Wolves”, bahkan berdurasi lebih 120 menit. Film-film produksi India
rata-rata berdurasi hingga 180 menit. Film panjang ini juga termasuk di
dalamnya film animasi.
8. PERBEDAAN SENI PERAN FILM DENGAN SENI TEATER
Perbedaan
seni peran film (drama, sandiwara, sinetron,dll) dengan seni peran teater
adalah:
· Film
(drama, sandiwara):
a.
Film tidak memerlukan pengucapan vokal
yang cukup kuat, karena diperkuat atau diambil oleh microphone.
b.
Emosi tidak perlu kuat, karena akan
diperkuat oleh kamera yang mengambil secara short shot atau close up.
c.
Make up cukup tipis, karena akan
diperkuat oleh kamera.
d.
Pengambilan adegan secara partial atau
sebagian-sebagian yang dipotong-potong menjadi sangat pendek-pendek sesuai
dengan yang akan di ceritakan, sehingga adegan yang salah bisa diulang-ulang
hingga mencapai seperti yang dikehendaki oleh sutradara.
· Teater
a.
Pengucapan vokal harus sangat kuat,
karena penampilan dilakukan di atas panggung dan vokal harus terdengar hingga
penonton di barisan yang paling belakang.
b.
Emosi atau perasaan harus ekstrem,
karena penampilan dilakukan di atas panggung dan emosi atau perasaan harus
terlihat hingga penonton di barisan paling belakang.
c.
Make up harus ekstrem, karena penampilan
dilakukan di atas panggung dan make up harus terlihat hingga penonton di
barisan paling belakang.
d.
Adegan dari awal hingga akhir penampilan
atau show harus sempurna, karena tidak ada jeda atau pengulangan bagi adegan
yang salah. Melakukan kesalahan pada satu adegan atau dialog, maka akan merusak
semua performa yang sedang ditampilkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar