abstrak

Selasa, 21 Maret 2017

KESIMPULAN MODUL E. KP 1

KESIMPULAN MODUL E MULTIMEDIA
JENIS-JENIS FILM
NAMA : AGUNG ADITYA SAENONG

1.      PENGERTIAN FILM
Film adalah gambar-hidup yang juga sering disebut movie. Film secara kolektif sering disebut sebagai sinema. Sinema bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebetulnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. (Nugroho, 2013).

Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar dapat melukis gerak dengan cahaya, harus menggunakan alat khusus, yang biasa disebut dengan kamera.

Film adalah gambar yang bergerak. Adapun pergerakannya disebut sebagai intermitten movement, gerakan yang muncul hanya karena keterbatasan kemampuan mata dan otak manusia menangkap sejumlah pergantian gambar dalam sepersekian detik. Film menjadi media yang sangat berpengaruh, melebihi media-media yang lain, karena secara audio dan visual bekerja sama dengan baik dalam membuat penonton tidak bosan dan lebih mudah mengingat, karena formatnya yang menarik.

Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.


1.      SEJARAH FILM INTERNASIONAL

Film yang ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang hingga hari ini merupakan ‘perkembangan lebih jauh’ dari teknologi fotografi. Perkembangan penting sejarah fotografi telah terjadi di tahun 1826, ketika Joseph Nicephore Niepce dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk membuat gambar pada sebuah lempengan timah yang tebal.

Thomas Alva Edison (1847-1931) seorang ilmuwan Amerika Serikat penemu lampu listrik dan fonograf (piringan hitam), pada tahun 1887 terinspirasi untuk membuat alat untuk merekam dan membuat (memproduksi) gambar. Edison dibantu oleh George Eastman, yang kemudian pada tahun 1884 menemukan pita film (seluloid) yang terbuat dari plastik tembus pSaudarang. Tahun 1891 Eastman dibantu Hannibal Goodwin memperkenalkan satu rol film yang dapat dimasukkan ke dalam kamera pada siang hari.

Alat yang dirancang dan dibuat oleh Thomas Alva Edison itu disebut kinetoskop (kinetoscope) yang berbentuk kotak berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukan. Lumiere bersaudara kemudian merancang peralatan baru yang mengkombinasikan kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu. Lumiere Bersaudara menyebut peralatan baru untuk kinetoskop itu dengan “sinematograf” (cinematographe). Peralatan sinematograf ini kemudian dipatenkan pada tahun 1895.

Pada peralatan sinematograf ini terdapat mekanisme gerakan yang tersendat (intermittent movement) yang menyebabkan setiap frame dari film diputar akan berhenti sesaat, dan kemudian disinari lampu proyektor. Di masa awal penemuannya, peralatan sinematograf tersebut telah digunakan untuk merekam adegan-adegan yang singkat, misalnya: adegan kereta api yang masuk ke stasiun, adegan anak-anak bermain di pantai, di taman dan sebagainya.

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar, berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menSaudarai lahirnya film dan bioskop di dunia. Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe ini yang menandai lahirnya film pertama di dunia.

Sejak ditemukan, perjalanan film terus mengalami perkembangan besar bersamaan dengan perkembangan atau kemajuan-kemajuan teknologi pendukungnya. Pada awalnya, hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara atau dikenal dengan sebutan “film bisu”. Masa film bisu berakhir pada tahun 1920-an, setelah ditemukannya film bersuara. Film bersuara pertama diproduksi tahun 1927 dengan judul “Jazz Singer”, dan diputar pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat. Kemudian menyusul ditemukannya film berwarna di tahun 1930-an.
                       
Perubahan dalam industri perfilman jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem penglihatan mata, berwarna, dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.

Pada perkembangan selanjutnya, film tidak hanya dapat dinikmati di bioskop dan berikutnya di televisi, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD (Blue-Ray), film dapat dinikmati di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Dengan perkembangan internet, film juga dapat disaksikan lewat jaringan Superhighway. Film kemudian dipandang sebagai komoditas industri oleh Hollywood, Bollywood, dan Hongkong.

1.      SEJARAH PERKEMBANGAN FILM DI INDONESIA
Film Indonesia pertama kali dikenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep". Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang dengan tema film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Namun pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.

Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu, dan film cerita impor ini cukup laku di Indonesia, dibuktikan dengan jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan.

Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926, dengan judul “Loetoeng Kasaroeng” yang diproduksi oleh NV Java Film Company, adalah sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang, karena pada tahun tersebut di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.

2.      KLASIFIKASI FILM
Menurut jenis film :
a.    Film Fiksi (cerita karangan)
b.    Film Non Fiksi (berdasarkan kenyataan sebagai subyeknya)
Film Non Fiksi ada 2 yaitu :
·         Film Faktual yakni : menampilkan fakta atau kenyataan yang ada, dimana kamera sekedar merekam suatu kejadian. Sekarang, film faktual dikenal sebagai film berita (news-reel), yang menekankan pada sisi pemberitaan suatu kejadian aktual.
·         Fil Dokumenter yakni : Selain fakta, juga mengandung subyektifitas pembuat yang diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa, sehingga persepsi tentang kenyataan akan sangat tergantung pada si pembuat film dokumenter tersebut.

Menurut Cara Pembuatan :
a.       Film Eksperimental
Film Eksperimental adalah film yang dibuat tanpa mengacu pada kaidah-kaidah pembuatan film yang lazim. Tujuannya adalah untuk mengadakan eksperimentasi dan mencari cara-cara pengucapan baru lewat film. Umumnya dibuat oleh sineas yang kritis terhadap perubahan (kalangan seniman film), tanpa mengutamakan sisi komersialisme, namun lebih kepada sisi kebebasan berkarya.


b.      Film Animasi
Film Animasi adalah film yang dibuat dengan memanfaatkan gambar (lukisan) maupun benda-benda mati yang lain, seperti boneka, meja, dan kursi yang bisa dihidupkan dengan teknik animasi.

Menurut Tema Film (Genre) :
a.       Drama
Tema ini lebih menekankan pada sisi human interest yang bertujuan mengajak penonton ikut merasakan kejadian yang dialami tokohnya, sehingga penonton merasa seakan-akan berada di dalam film tersebut. Tidak jarang penonton yang merasakan sedih, senang, kecewa, bahkan ikut marah.
b.      Action
Tema action mengetengahkan adegan-adegan perkelahian, pertempuran dengan senjata, atau kebut-kebutan kendaraan antara tokoh yang baik (protagonis) dengan tokoh yang jahat (antagonis), sehingga penonton ikut merasakan ketegangan, was-was, takut, bahkan bisa ikut bangga terhadap kemenangan si tokoh.
c.       Komedi
Tema film komedi intinya adalah mengetengahkan tontonan yang membuat penonton tersenyum, atau bahkan tertawa terbahak-bahak. Film komedi berbeda dengan lawakan, karena film komedi tidak harus dimainkan oleh pelawak, tetapi pemain biasa pun bisa memerankan tokoh yang lucu.


d.      Tragedi
Film yang bertemakan tragedi, umumnya mengetengahkan kondisi atau nasib yang dialami oleh tokoh utama pada film tersebut. Nasib yang dialami biasanya membuat penonton merasa kasihan/prihatin/iba.
e.       Horor
Film bertemakan horor selalu menampilkan adegan-adegan yang menyeramkan, sehingga membuat penontonnya merinding karena perasaan takutnya. Hal ini karena film horor selalu berkaitan dengan dunia gaib/magis, yang dibuat dengan special effect, animasi, atau langsung dari tokoh-tokoh dalam film tersebut.

3.       FILM ‘MAINSTREAM’
Pengertian Istilah film ‘mainstream’ ditujukan kepada film-film yang diproduksi oleh studio-studio besar yang bertujuan menghibur masyarakat dengan meraup keuntungan sebesar-besarnya, dan biasanya berdurasi panjang (90-100 menit). Film-film mainstream lebih dianggap barang dagangan (industri) daripada dianggap sebagai sebuah karya seni.

Karakter Film ‘Mainstream’
Ada beberapa karakter khas film ‘mainstream’ yang umumnya menjadi acuan:
a.       Non Teknis
Secara non teknis film ‘mainstream’ dibagi menurut ide atau tema. Ide atau tema yang dipakai adalah tema-tema yang sedang populer di masyarakat, karena bertujuan ‘komersial’ (umumnya mengangkat kisah heroik dan percintaan).

Alur cerita dibagi dalam 4 bagian:
1.      Pembuka: berisi perkenalan tokoh (baik protagonis maupun antagonis). Pada akhir babak ini biasanya dimunculkan masalah yang dialami tokoh utama protagonis.
2.      Tengah: merupakan pengembangan masalah yang biasanya disusun dengan berliku-liku (panjang).
3.      Klimaks: merupakan puncak dari permasalahan dan penyelesaiannya.
4.      Babak penutup: merupakan akhir cerita yang biasanya dibuat agar penonton ikut merasakan kebahagiaan/kemenangan dari tokoh utama (happy ending).
b.      Secara teknis,
Karakter film ‘mainstream’ adalah:
·         Menggunakan bahan selluloid (minimal film 35 mm) agar dapat diputar di bioskop.
·         Memiliki jaringan kerjasama yang jelas dan luas, baik pada saat pra-produksi, produksi sampai ke tahap distribusi film dengan tujuan utama keuntungan secara materi.
·         Modal/dana disediakan oleh orang atau instansi tertentu yang berposisi sebagai produser.
·         Menggunakan sistem bintang, maksudnya pemeran film sudah dikenal oleh masyarakat (public figure) dengan tujuan menarik minat penonton.
·         Ada proses sensor dari lembaga perfilman yang terkait, dengan tujuan menyaring bagian film yang dianggap tidak baik untuk dikonsumsi masyarakat umum.

6.  PELAKU INDUSTRI FILM


Dalam pembuatan film, tidak akan lepas dari kerjasama tim yang baik. Semakin baik kerjasama yang terjalin, maka semakin maksimal hasil film yang dibuat. Pada saat pembuatan film semua kru harus hadir untuk melaksanakan tugasnya, karena ketidakhadiran salah satu kru akan menghambat proses pembuatan film. Berikut adalah beberapa posisi dan tanggung jawab pada kru pembuat film:
1.      Produser
Dalam bukunya yang berjudul People Who Makes Movies, Theodore Taylor menyebut produser sebagai “Orang dagang tapi kreatif”. Produser adalah orang yang mengepalai studio. Orang ini memimpin produksi film, menentukan cerita dan biaya yang diperlukan serta memilih orang-orang yang harus bekerja untuk film yang dibuat di studionya.



2.      Sutradara
Sutradara terkemuka Amerika, Arthur Penn, menyebut sutradara sebagai orang yang menulis dengan kamera (Theodore Taylor, People Who Make Movies, hal.21). Sutradara adalah orang yang memimpin proses pembuatan film (syuting), mulai dari memilih pemeran tokoh dalam film, hingga memberikan arahan pada setiap kru yang bekerja pada film tersebut sesuai dengan skenario yang telah dibuat.

3.      Penulis Skenario
Orang yang mengaplikasikan ide cerita ke dalam tulisan, dimana tulisan ini akan menjadi acuan bagi sutradara untuk membuat film. Pekerjaan penulisan skenario tidak selesai pada saat skenario rampung, karena tidak jarang skenario itu harus ditulis ulang karena produser kurang puas.

4.      Penata Fotografi
Penata fotografi adalah nama lain dari juru kamera (cameraman), orang yang benar-benar memiliki pengetahuan dan ahli dalam menggunakan kamera film. Dalam menjalankan tugasnya mengambil gambar (shot), seorang juru kamera berada di bawah arahan seorang sutradara.

5.      Penyunting
Penyunting adalah orang yang bertugas merangkai gambar yang telah diambil sebelumnya menjadi rangkaian cerita sesuai dengan skenario yang telah dibuat. Pada proses ini, juga dilakukan pemberian suara (musik) atau special effect yang diperlukan untuk memperkuat karakter gambar atau adegan dalam film.

6.      Penata Artistik
Penata artistik dapat dibedakan menjadi penata latar, gaya, dan rias.
·         Penata latar: menyiapkan suasana/dekorasi ruang sesuai dengan skenario adegan yang diinginkan.
·         Penata gaya: membantu sutradara untuk memberikan arahan gaya kepada pemain.
·         Penata rias: orang yang bertugas membantu pemeran untuk merias wajah dan rambut, hingga menyiapkan pakaian (kostum) yang akan digunakan.

7.      Pemeran
Posisi pemeran yang juga disebut sebagai bintang film ini, secara kelembagaan, tidaklah begitu penting karena seorang pemeran harus tunduk dan melakukan segala arahan yang diberikan oleh sutradara. Namun, karena cerita film sampai pada penonton melalui bintang film tersebut, di mata penonton justru bintang film itulah yang paling penting, dan sangat  menentukan.

8.      Publicity Manager
Menjelang, selama, dan sesudah sebuah film selesai dikerjakan, para calon penonton harus dipersiapkan untuk menerima kehadiran film tersebut. Pekerjaan ini dipimpin oleh seorang yang tahu betul melakukan propaganda, dan sebutannya adalah publicity manager.

 

7.  FILM INDEPENDEN (INDIE)


Pengertian Kata independen (bahasa Inggris) yang berarti: merdeka, berdiri sendiri, berjiwa bebas, tidak dikuasai/dipengaruhi kekuatan lain. Kata ‘indie’, dalam film indie, mengartikan semangat kebebasan dan kemandirian para pembuat film  dalam berkarya, yang lebih menekankan film sebagai media untuk menyampaikan pesan dan mengekspresikan kesenimanan seorang pembuat film, bukan ladang ‘komersialisme’ bagi para pemilik modal. Film indie adalah film yang diproduksi dan didistribusikan tanpa mengikuti kaidah perfilman yang telah baku (konvensional).

Film Independen di Indonesia
Film independen (indie) yang dimaksud adalah film-film alternatif di luar film-film ‘mainstream’, yang produksi dan distribusinya berdasarkan semangat independen para pembuat film  yang cenderung berkarakter dekonstruktif dan eksperimental. Sebuah film menjadi film indie saat nurani pembuat film  menginginkannya menjadi suatu yang independen, terlepas dari latar belakang proses produksi film atau mungkin juga sebuah karakter personal yang menjadi gaya si pembuat film  untuk membuatnya menjadi sebuah karya seni. Sehingga sebuah film indie dapat dilihat dari ‘semangat’ dan nurani pembuat film .
Film indie di Indonesia muncul sebagai alat komunikasi suatu komunitas atau individu untuk berekspresi. Faktor-faktor lain yang mendorong gairah pembuatan film-film indie di Indonesia, sama dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yaitu tidak tersedianya media untuk berekspresi. (Garin Nugroho, Berpikir Merdeka dan Berkarya Mandiri, Kompas, Minggu, 9 Juni 2002).

Karakter Film Independen
Film indie umumnya menawarkan tema-tema yang beragam, yang tidak ditemui di film-film pada umumnya yang cenderung latah dan mengekor film-film yang telah sukses. Tema-tema sederhana, yang justru dengan kesederhanaannya dapat menembus ketidaksederhanaan, yang luput dari perhatian masyarakat. Karena sifatnya sebagai alternatif, bukan komersil, membuat film indie penuh dengan eksplorasi subyektif dari si pembuat.

Pembuat film  memiliki kebebasan berekspresi menuangkan segala kreativitas imajinasinya dalam karya film, sehingga menghasilkan film-film yang tidak biasa (tidak konvensional). Kemurnian dan kejujuran inilah yang membuat film indie dikonotasikan sebagai film ‘egois’ yang hanya dinikmati kalangan tertentu saja. Kemandirian dalam pengadaan dana/tanpa sponsor secara tidak langsung juga mengakibatkan kemandirian pendistribusian dan penggunaan pemeran film. Pendistribusian dilakukan secara ‘gerilya’ dan pemain film yang mendukung bukanlah selebriti terkenal, melainkan orang-orang biasa yang memiliki bakat akting.

Berdasarkan durasi atau lamanya sebuah film dapat dibagi sebagai berikut:

1. Film Pendek
Durasi film cerita pendek biasanya di bawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman, Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan juga Indonesia, film cerita pendek dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi seseorang/sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik. Sekalipun demikian, ada juga yang memang mengkhususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televisi yang nantinya akan menayangkan film tersebut.

2.      Film Panjang
Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini. Beberapa film, misalnya Dances With Wolves, bahkan berdurasi lebih 120 menit. Film-film produksi India rata-rata berdurasi hingga 180 menit. Film panjang ini juga termasuk di dalamnya film animasi.

 

8. PERBEDAAN SENI PERAN FILM DENGAN SENI TEATER


Perbedaan seni peran film (drama, sandiwara, sinetron,dll) dengan seni peran teater adalah:
·      Film (drama, sandiwara):
a.         Film tidak memerlukan pengucapan vokal yang cukup kuat, karena diperkuat atau diambil oleh microphone.
b.        Emosi tidak perlu kuat, karena akan diperkuat oleh kamera yang mengambil secara short shot atau close up.
c.         Make up cukup tipis, karena akan diperkuat oleh kamera.
d.        Pengambilan adegan secara partial atau sebagian-sebagian yang dipotong-potong menjadi sangat pendek-pendek sesuai dengan yang akan di ceritakan, sehingga adegan yang salah bisa diulang-ulang hingga mencapai seperti yang dikehendaki oleh sutradara.

·      Teater
a.         Pengucapan vokal harus sangat kuat, karena penampilan dilakukan di atas panggung dan vokal harus terdengar hingga penonton di barisan yang paling belakang.
b.         Emosi atau perasaan harus ekstrem, karena penampilan dilakukan di atas panggung dan emosi atau perasaan harus terlihat hingga penonton di barisan paling belakang.
c.         Make up harus ekstrem, karena penampilan dilakukan di atas panggung dan make up harus terlihat hingga penonton di barisan paling belakang.
d.        Adegan dari awal hingga akhir penampilan atau show harus sempurna, karena tidak ada jeda atau pengulangan bagi adegan yang salah. Melakukan kesalahan pada satu adegan atau dialog, maka akan merusak semua performa yang sedang ditampilkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar